Rabu, 17 Oktober 2012

Cinta di Ranah Biru Muda



Satu sore di ranah biru muda…
Bruk! Seketika buku psikologi umum, writing for psychology dan file berisi kumpulan materi kuliahku jatuh berserakan. Jatuh melawan gravitasi, lolos dari genggamanku karena tertabrak oleh sesosok pria yang datang dari arah yang tak terduga. Ia menabrakku dari arah belakang, tampaknya ia sangat diburu waktu, terlihat dari bulir keringat yang menutupi sebagian dahinya, pasti dia ke sini sambil berlari.
Di lantai, barang bawaan milikku dan miliknya berserakan. Karena terburu-buru, ia hanya mengambil sekenanya dan langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan maaf sekalipun. 
Huh, dasar! Punya salah tapi malas buat ngucapin maaf! Lo laki apa banci?!” ucapku sedikit teriak.
Dia terus berlalu tanpa menoleh ke arahku. Buatku ucapan maaf, tolong dan terima kasih adalah kata-kata sakral yang wajib digunakan dalam kondisi tertentu. Gunanya untuk menjaga perasaan orang lain agar merasa dihargai. Artinya perilaku yang sudah dia lakukan tadi, sama sekali tidak menghargai perasaanku, udah salah, main ngeloyor aja lagi! 
Ditemani rasa kesal terhadap pria itu, aku masih berusaha mengumpulkan textbook dan kumpulan materi kuliah yang jatuh berserakan. Yang penting tak ada barang yang tertinggal di sini, pikirku. Setelahnya, aku kembali meneruskan langkahku pulang ke tempat kostku.  
***
Malamnya…
Besok aku ada quiz terakhir sebelum UAS, Ma. Makanya malam ini aku mau melahap habis materinya. Jadi telfonnya udah dulu yah. Daaa Mama”
Klik. Ku akhiri pembicaraanku dengan mama malam ini. Sudah waktunya merreview ulang chapter rationalism, romanticism dan existentialism. Jari-jariku menari menyusuri file berisi kumpulan materi kuliah, mencari-cari catatan kelas mbak Merry. Tapi tak kunjung kutemukan tulisan yang khusus kucatat rapi dengan tinta biru.
“Duh, dimana ya catatan kelas mbak Merry? Kok bisa ga ada sih?! Kalo ga ada gimana nasib quiz gue besok nih! Aaaargh!”, Aku mulai resah dan marah. Marah kenapa catatan itu tak berada di tempatnya, marah kenapa aku baru mau akan membacanya sekarang, kenapa tidak dari 4 hari lalu pasti aku tak segamang ini. Sambil memutar bola mataku ke kiri, aku berusaha membuka memori, menyusuri perjalananku hari ini, mungkin aku meninggalkan catatanku di suatu tempat.
Nah! Sepertinya aku tau di mana keberadaan catatanku. Hari ini aku tidak ada kegiatan selain ke kampus untuk jadwal kuliah saja, kemungkinannya adalah catatanku tertinggal di kelas filsafat atau tercampur dengan tumpukan kertas pria yang menabrakku sore tadi. Ah, tapi sudahlah, tak ada waktu untuk meributkan catatan itu, lebih baik aku merangkum ulang buku History of Psychology. Ya tipe belajarku adalah dengan menulis, karena dengan menulis, ilmu pengetahuan seakan menancapkan jejaknya diingatanku. 
***
Esok harinya…
Aku terbangun dengan keadaan kacau. Alarm kuk kuk memaksaku untuk bangun, karena jarumnya sudah menunjukkan waktu 7.30. Kantung mataku menghitam hasil perbuatanku yang tak membiarkannya istirahat jika rangkumanku belum selesai. Aku harus merangkum 3 chapter dan tiap chapternya terdiri dari 35 halaman, menyelesaikannya dalam semalam adalah bentuk kejahatan yang kulakukan terhadap diriku sendiri. Badanku terasa lemas akibat waktu tidur normal yang tak tercukupi. Aku merasa jumlah oksigen di otakku menyusut, bisa terdeteksi dari langkahku yang gontai. 
“Apapun yang terjadi pada tubuhmu sekarang tidak boleh menghalangimu untuk datang ke kampus, Ken. Inget, ini kan quiz terakhir sebelum UAS, jadi lo harus do the best!”, ucapku dalam hati menyemangati diri sendiri.
Sampai di kelas aku mendapati kursi-kursi bagian depan kosong, hanya ada beberapa mahasiswa yang mau duduk di sana sementara penuh di bagian belakang. Seperti suasana quiz biasanya. Aku tak peduli, yang penting aku duduk, quiz lalu kembali pulang untuk istirahat. Kuletakan tasku sembarang, di sebuah kursi barisan depan. Beberapa menit kemudian langkah mbak Merry, dosen sejarahku, terdengar jelas dari heels 10 centi dan keramik yang beradu.
“Selamat pagi, semua! Sekarang taruh buku kalian dalam tas dan di atas meja hanya ada alat tulis. Soal akan segera saya bagikan ketika semua sudah siap!”, perintah mbak Merry.
Aku sudah siap. Siap untuk mati, karena banyak materi yang tak muat kumasukkan ke dalam memoriku. Aku tak bisa menghafal 105 halaman dalam waktu semalam, juga dalam keadaan yang kelelahan. Sudahlah aku pasrah. 
Lembar soal mendarat cantik di atas meja lipatku. Kugenggam kertas itu sambil membaca soalnya satu-persatu. Kukerjakan dengan baik soal satu hingga lima, namun kelamaan pandanganku kabur dan aku lupa apa yang terjadi. 
***
Rasanya nyaman sekali di sini. Tiada lagi begadang dan quiz sejarah! Oh betapa nikmatnya tidur cukup. Eh, tunggu. Jawaban nomor 3 tadi Kierkegaard bukan ya? Aaah, pasti benar. Iya, Kierkegaard, ucapku sambil mengacungkan tangan dan berdiri dari tempatku berada. Ya, kelopak mataku masih menutup. Semacam mengigau. Kemudian perlahan kelopakku mulai membuka penuh dan menyadari bahwa aku mengigau. Posisi berdiri plus pose tangan menunjuk ke atas dan dalam keadaan setengah tertidur tentunya membuatku terlihat seperti orang bodoh. Aku melihat sekitar. Menghamparkan pandangan ke sekitar kelas. Tiada satu orang pun disana. “Pada ke mana ya orang-orang? Mbak Merry mana? Jadi quiznya gimanaaa?!” rutukku.
“Quiznya udah selesai dari satu jam yang lalu, lo kebo banget sih, tidur kok ga bangun-bangun!” tetiba ada suara seorang pria menimpali dari arah sisi kananku.
Sejak kapan dia ada di situ? Sepertinya aku mengedarkan pandanganku terlali jauh, sampai tak menyadari bahwa ada orang duduk persis di sampingku. 
“ Lo siapa? Kenapa ga bangunin gue aja daritadi? Aduuuuh kacau deh quiz gue! Tunggu deh, kayaknya gue kenal muka lo. Lo yang nabrak gue kemaren sore kan? Nih liat nih semua gara-gara lo, catatan gue kebawa lo jadi gue harus merangkum ulang terus ngafalin dalam semalam sampai gue cuma tidur 3 jam dan ketiduran di saat quiz. Abis deh nilai quiz terakhir gue. Aaargh! Ini semua salah lo, tanggung jawaaaab!”, seruku, memberondongnya dengan semua unek-unek yang memenuhi otak sambil memukuli lengannya.
“Iya, iya, eh, tapi tunggu dulu dong. Eh, tunggu dulu, biarin gue ngejelasin!”
Aku melemahkan dan perlahan menghentikan pukulan yang kuarahkan padanya. 
“Udah tenang sekarang?”
Bibirku terkunci memandang kesal padanya, hanya anggukan yang tercipta.
“Jadi begini Kenny Aurelia Fiqri. Kemarin gue buru-buru karena ada janji sama PA sementara gue udah telat 20 menit dan gue harus segera nemuin beliau, that’s why gue sembarangan ambil kertas yang jatuh dan ternyata salah satunya adalah catatan sejarah lo. Dan karena itu pula, gue ga sempat minta maaf ke lo. Sorry. Ohya, satu lagi, gue bukan banci.”
“Terus, apa alasannya lo ga bangunin gue selama gue ketiduran pas quiz tadi?”
“Gue tau kehilangan catetan sejarah yang super lengkap itu akan membuat lo kelimpungan untuk belajar lagi dari awal. Prediksi gue, semalem pasti lo begadang hebat melahap bulat-bulat materi 3 chapter terakhir. Sementara gue lancar menghafalkan catatan yang lo tulis rapi ini. Jadi, sebagai wujud permohonan maaf, gue membiarkan lo tertidur tanpa diketahui mbak Merry dan nyelesein lembar soal lo dari nomer 6 sampai 20.” Jelasnya sambil nyengir.
Aku berusaha mensinkronkan cerita yang disampaikannya dengan kejadian-kejadian yang menimpaku. Sambil mengangguk-anggukan kepala pertanda penjelasannya dapat kuterima dengan baik. Tapi masih banyak pertanyaan yang mengganjal di pikiranku, siapa pria ini? apa dia mahasiswa barujuga? Tapi kok aku ga pernah liat ya?
Rupanya ia membaca kebingunganku.
“Gue Ega. Ramadhani Megaputra. Psikologi 2009.” 
Seketika ia menarik tanganku, mengikuti kemana geraknya pergi. Dan aku entah mengapa diam mengikuti ke mana ia membawa. 
***
Dua belas hari kemudian…
Hari itu dia menarik tanganku pergi ke mushola baru dan mengajakku menjadi makmumnya untuk sholat ashar berjamaah. Selepas sholat, Ega mengajakku duduk sebentar di salah satu sudut taman akademos. Banyak hal yang kami bicarakan di sana. Dari yang penting sampai yang ga penting sama sekali. Dari perbincangan itulah aku baru tahu ternyata dia juga mahasiswa baru, hanya saja jarang terlihat, soalnya dia cukup aktif berorganisasi di luar kampus. 
Cukup banyak informasi yang kudapat dari pembicaraan itu. Aku banyak menganggukkan kepala, pertanda menyetujui pernyataannya. Sebaliknya, aku tak banyak bicara. Buatku dia masih asing dan buat apa menceritakan hal privasi kepada orang yang baru dikenal? Ega bicara banyak mengenai hidupnya, tentang ayahnya yang super duper dictator, ibunya yang sabar luar biasa dan Bintang, adiknya yang punya segudang prestasi. Kami baru saja kenal beberapa menit yang lalu dan dia sudah menceritakan berlembar-lembar kisah hidupnya. Kurasa dia  butuh teman untuk menumpahkan curahan hatinya, ditemani kegiatannya yang padat kurasa ia tak punya waktu untuk ini, makanya ketika ada kesempatan ia langsung banyak bercerita. 
Dosenku pernah bilang “Tugas seorang psikolog itu adalah mendengarkan, jadi kalian belajarlah untuk mendengarkan orang lain”. Ya, berdasarkan petuah itu, aku berusaha mendengarkan cerita Ega sejak hari itu dan kapan pun dia mau. Makin lama, pengetahuanku tentang dirinya semakin bertambah. Ramadhan Megaputra adalah seorang calon psikolog yang sedang merintis production house yang kuprediksikan akan besar suatu hari nanti. Physically dia juga lumayan oke, bahu bidang, tinggi cukup, mata elang yang tertutup kaca mata, bulu tipis sekitar janggut dan pipi. Dengan berbagai prestasi di bidang advertising dan look yang oke ini, perlu dipertanyakan mengapa belum ada wanita yang bersandar di bahu bidangnya?
Hush. Ken, jangan ngelamun terus. Itu mocca latte lo tumpah gara-gara lo puter terus sedotannya!”
Ah, iya. Aduh, yaaah kotor deh baju gue. Gimana nih, Ga?”, Aku mengutuk diriku sendiri mengapa bisa begitu ceroboh. Akibat perbuatanku, sekarang ada 3 titik noda mocca latte di bajuku, padahal hari ini aku ada interview untuk bekerja sebagai kontributor sebuah media di kampus.
Hahaha lo sih ken, kerjaannya ngelamun terus, jadi kotor deh kan sekarang baju lo. Yaudah deh, ayo gue anter lo balik ke kostan abis itu langsung aja gue anter ke tempat lo interview.”
Serius, Ga? Lo bukannya ada kelas mas Pandu jam 1? Nanti lo telat. Lagipula gue Cuma punya waktu setengah jam untuk ganti baju ke kostan, ga bakal keburu, udahlah gue ga usah interview aja
“Yah Ken, jangan gampang nyerah lah. Lo bukannya pengen banget kerjaan ini? Udahalah ga usah kaku, sini gue anter” timpalnya sambil mengalungkan tasku di lehernya dan menarikku berlari ke arah parkiran. Ya, hobinya memang menarik tanganku.
***
Hari ke enam puluh…
Akhirnya setelah upaya yang dilakukan Ega agar aku tetap datang interview hari itu berbuah manis. Aku resmi menjadi kontributor. Entahlah, mungkin bukan suatu hal yang wah, tapi aku bangga dan menikmatinya. Aku dan Ega sempat tenggelam dengan kesibukkan kami masing-masing, Ega dengan production housenya dan aku dengan kehidupanku sebagai seorang kontributor. Namun kami selalu menyempatkan untuk makan siang satu hari dalam seminggu di kancil (red:kantin cikologi), hanya untuk sekedar menanyakan kabar dan menceritakan hidup selama satu minggu berlangsung. 
***
Desember 2012. 
Tak terasa sudah tahun ketiga aku belajar di fakultas ini. Predikat sebagai seorang mahasiswa baru sudah lama kutinggalkan. Banyak hal yang berubah. Prioritasku dulu adalah kuliah dengan benar sambil menjadi kontributor yang handal. Tapi sekarang aku berhenti menjadi kontributor demi fokus skripsi. Skripsi menyita hampir seluruh waktuku, semacam muak aku dibuatnya. Jika sudah begini rasanya aku jadi rindu masa-masa mahasiswa baru. Bebas, tugas tak berlebihan dan juga masih ada Ega. 
Ohya, apa kabar yaa Ega?
Ega sudah satu tahun lamanya meninggalkanku. Ega adalah mahasiswa program International jadi masa studinya di UI hanya 2 tahun. Dan tahun lalu Ega bertolak ke Melbourne, meninggalkanku sendirian. Jika sudah rindu seperti ini biasanya aku langsung mengambil laptopku dan mengaktifkan Skype, berharap Ega sedang tidak sibuk dan bisa berbincang denganku. Banyak hal yang kurindukan dari kebersamaan kami, pesan mocca latte bersama di kancil, ditarik tangannya oleh Ega, naik motor keliling UI malam hari. Aku rindu. Entah apa kamu begitu?
27 Desember 2012
"Hari ini schedule gue, cuma bimbingan sama dosen aja, nanti baliknya gue ke perpus deh, gue mau cari teori lain yang kiranya relevan yang bisa gue tambahin di skripsi gue", ucapku pada diriku. Belakangan ini rute tempat yang kusinggahi tak jauh-jauh dari rumah-kampus-perpus. Ya, aku sudah lama tak tinggal di kost lagi, kupikir sejak skripsi kesibukannku mulai berkurang. 
Ketika aku sudah siap sedia untuk berangkat ke kampus dan membuka pintu rumah, aku melihat pulpen favoritku tergeletak di sana. Aneh. Kenapa bisa ada di sini ya? Langsung saja aku ambil pulpen itu, ternyata pulpen itu diikatkan pada sebuah senar transparan yang aku tak tau berujung pada apa. Lalu aku tarik dngan kencang dan muncul sura mengaduh. Ega keluar dari semak depan rumahku. "Duuuuuh, kenceng banget sih nariknya, Ken! Dasar kuli, masih pagi tapi tenaga lo kuat banget"
"Loh, Ega. Lo ngapain di sini? Kok balik ga bilang-bilang? Nyebeliiiiiiin. Gue kan pengen jemput lo ke bandara biar nyobain adegan romantis orang yang merindu gitu, huuu payah"
"Idiiiih jijik banget sih lo, Ken. Sengaja gue ga bilang, biar kayak kejutan gitu deh. Gue tadi sampe cengkareng subuh, yaah karena gue udah kangen langsung ajadeh gue meluncur ke rumah lo hahaha."
"Yaudah kalo gitu sekarang lo anterin gue ke kampus ya, gue ada bimbingan nih, yuuuuk!"
"Iya, tuan putri"
Kami pergi ke kampus dengan motor Ega. Rasanya sudah lama sekali aku tak duduk di 'kursi singgasanaku' alias jok belakang motor Ega. 

Kami menghabiskan waktu seharian. Setelah bimbingan, Ega menemaniku mengobrak-abrik perpustakaan demi mencari teori yang relevan dengan skripsiku, lumayan sedikit membantu meskipun lebih banyak mengganggu :p

Sore ini kami melakukan sholat maghrib berjama'ah di mushola baru. Jadi teringat kejadian 3 tahun lalu, pertemuan pertama kami. Entahlah rasanya begini nyaman sekali. Seakan berhenti dari rutinitas membosankan dan kembali menoleh pada masa lalu. Ohya, selepas maghrib, Ega mengajakku beranjak ke salah satu sudut taman akademos, ya tempat kami ngobrol pertama kali. 

"Ken, lo tau ga kenapa gue pulang hari ini?"

"Engga, makanya gue bingung. Bukannya jadwal lo pulang masih 4 bulan lagi ya, Ga?"

"Huh, ga peka banget sih lo. Bener sih jadwal pulang gue masih 4 bulan lagi, tapi ini gara-gara gue mau ngerayain hari ini bareng sama lo"

"Ha? Emangnya hari ini hari apa ya, Ga?"

"Ini tanggal 27 Desember, Ken. Ah, payah lo. Ini kan hari pertama kita ketemu waktu itu. Ngambek aja deh gue, udah gue bela-belain dari Melbourne ke sini, tapi lo nya lupa"

Biasanya kami memang memang merayakan hari pertemuan pertama kami. Ini sudah tahun ketiga. Biasanya kami bertukar kado.

"Yaampuuuun, oh iya bener, Ga. Aduh gue lupa banget nih, sorry yaaaa. Yaudah karena gue lupa, kadonya nyusul aja ya, Ga. Terus kado gue mana?" kataku sambil nyengir.

Ega diam selama beberapa menit. Raut wajahnya berubah serius. Aku bingung. 
Ia mengemambil sebuah barang dari dalam sakunya. Kecil dan manis. Aku bisa lihat ada hiasan pita sederhana di atasnya. Itu apa ya?

"Ken. Di tempat yang memiliki banyak kenangan tentang kita berdua ini, gue mau bertanya sesuatu", ucap Ega sambil menatap mataku dalam. 

Sial. Aku tak bisa lari dari tatatpan mata elangnya meskipun terhalang kacamata silindrisnya. Tatapan yang selalu berhasil membuatku tenang dan sekarang berhasil menghipnotisku.

"Eem, iya. Emm, mau tanya apa ya, Ga?"

"Kenny Aurelia Fiqri. Woud you mind to be my wife?"

Whattttt! Is he really proposing me now? Right here? In our place. Ini gila. Gila banget. Batinku bergejolak, berusaha menampik semua yang tersaji di hadapanku sekarang. Ini pasti ga mungkin.

"Lo becanda ya, Ga? Lo ga lagi sakit kan?" bantahku sambil memegang dahinya, mungkin saja termperaturnya tinggi.

"Gue serius, Ken. Gue tau lo. Lo tau gue. Dan gue rasa cuma lo orang yang paling cocok buat ngedampingin wisuda gue tahun depan dan nemenin hidup gue untuk selama-lamanya. Selama gue di Melbourne gue sakit, Ken. Gue sakit dan gue sadar betul apa penyebabnya, itu karena gue ga bisa ngeliat lo setiap hari. Gue sakit harus ngebayangin lo hadir di hidup gue."

"Ken, I know it sounds cliche, but i do really need you in my arm. Sebagai wujud nyatanya, selama 6 bulan belakangan, di Melbourne gue berusaha melebarkan production house gue dengan nerima job-job iklan. Uang yang udah gue hasilkan, gue kumpulin untuk ngurus legal formal production house, jadi nanti bisa jadi modal untuk hidup kita nantinya. Gue udah sampai tahap seserius ini, Ken. So, please don't make me disappointed with your answer. I hope its a yes"

Aku cuma bisa terdiam. Tak habis pikir bahwa Ega ternyata sudah melangkah sejauh itu. 

"Ga, gue sama sekali nggak nyangka lo akan berbuat sejauh ini. Jawaban apalagi yang pantas keluar dari mulut gue selain 'iya'?"

Di sini. Di salah satu sudut taman akademos, satu janji telah terpatri. Untuk hadir melengkapi hidup satu sama lain. Kenny dan Ega. Dua sahabat yang menjelma menjadi cinta di ranah biru muda.

.AnnJasmine

Selasa, 09 Oktober 2012

Menunggumu


Entah sejak kapan ku mulai merasakan
Banyak pertanda dari-Nya tentang kehadiranmu
Namun aku tak punya celah untuk mengetahui semua secara lebih jelas

Tiada satu hal pun yang aku tahu mengenai pribadimu
Begitu juga dengan hadirmu, aku tak tahu kapan sosokmu akan menemaniku mengisi hari
Pengetahuanku tentang kamu adalah nol besar

Tapi, Tuhan memberiku sebuah pentunjuk
Kata-Nya, aku harus memepersiapkan diriku sebaik mungkin
Maka kamu akan hadir dengan sosok yang baik pula

Tenanglah wahai imamku, sebisa mungkin akan kujaga
Untuk bertemu denganmu
Memberi yang terbaik dan seutuhnya

Aku akan menunggu hingga tiba waktunya
Kamu akan menjaga tulang rusukmu di manapun berada
Menjaga sepenuh cinta karena Allah Ta'ala


.AnnJasmine




Selasa, 02 Oktober 2012

Om


Sosokmu yang begitu dewasa, membuatku terlupa sejenak akan kegetiran hidup yang kurasa. 
Siapa yang menduga kita akan bertemu, di suatu malam yang sendu.
Malam yang selalu membangkitkan rasa sedih yang luar biasa, karena harus melepas salah satu teman terbaik menuju dunia luas.

Kursi ini kosong?
Oh, iya.
Boleh duduk?
Silahkan

Di sepanjang jalan, aku terus mengutuk diriku sendiri. Tiada rasa lain, selain kecewa pada diri sendiri karena nyaris kehilangan momen terakhir bertemu. 2 tahun hidup bersama, membuatku sulit melepas teman tercinta, meski kutau ia pergi untuk menggapai cita. Kemudian kamu muncul seakan dikirim Tuhan dari surga, untuk membuatku sedikit lega. 

Mau pergi ke mana, mbak?
Oh engga, cuma mengantar teman. Masnya mau ke mana?
Saya mau ke kalimantan. Temannya dapat flight yang jam berapa?
...

Suasana jalan menuju bandara yang begitu padat, membuat waktu terasa lebih lama. Satu menit sekali aku menyingkap lengan bajuku sedikit untuk melihat jam berapa kah sekarang? Bibirku tak sadar nyaris berdarah karena tergigit gigiku yang selali bergemeletuk saat panik. 

Tenang saja, kamu pasti masih bisa mengejar temanmu kok. Di sini memang padat, mungkin nanti ketika masuk tol semua mulai menyebar.
Tapi kayaknya ga mungkin deh.
Udah berdoa aja, temanmu juga pasti mengerti meski kamu ga sempat bertemu nanti. 

Entah sihir apa yang dia gunakan, sekejap aku mulai merasakan sedikit ketenangan. Mungkin karena kata-kata bijak yang dikombinasikan dengan tutur yang berbeda. Dewasa. Berlawanan dengan aku yang manja.

***

Hei, lama tak jumpa! Apa kabarmu? Aku bawa kabar baik, mulai sekarang aku tak kan lagi pergi ke "Hutan" :P
Hei kak. Aku baik. Wah baguslah kalo gitu. Happy for you.
So, kapan nih kita kemana?
Hemm...

Entahlah, dewasa tak langsung membuatku berkata "Iya". Semua masih biasa. Mungkin di kesempatan lainnya.

.AnnJasmine

Senin, 01 Oktober 2012

Aku bersamamu


Izinkan aku sekedar menemanimu bermimpi
Hanya sedikit yang ku bisa beri
Yakni tak melihatmu sendiri

Meski ragaku tak pernah hadir di hidupmu
Namun lirik bola mataku tak lepas menatap kamu
Jiwaku selalu membawamu dalam doaku


.AnnJasmine