Saat itu matahari mulai kembali beranjak ke perduannya. Ya, lagi-lagi petang. Dan kutuliskan pesan dari hatiku yang merasa terusik. Aku terlahir terlalu peka. Sedikit saja bersinggungan normaku, percik apinya bisa cepat berpindah tempat. Dari hati ke otak. Curiga pun tangkas melumpuhkan kerja akal sehat. Terobos terus tanpa tengok kanan kiri. Yang penting cepat, ku dapatkan alasannya. Gegabah. Itulah aku.
Percaya adalah instrumen nomor satu. Menjaga, merawat dan memeliharannya hingga dewasa ternyata sulit. Biarkan ia jatuh, merasa sakit di awal dan kebal di kemudian hari. Menjadi matang dan kuat. Sayangnya, aku tak pandai soal membinanya.
Tak kusangka, waktu itu lagi. Puncak amarah skala molar. Lagi-lagi ku mengalah, karena tak mau pisah. Kucoba tarik talinya, kembali ke akar, benarkah ku salah? Tak penting, asal masa kita tetap tanpa reduksi. Seperti yang pernah kamu bilang, apa yang kita lakukan sekarang adalah melakukan segala hal yang tidak bisa kita dapatkannya nanti. Iya, kita tak akan pernah. Jadi Tuhan menebusnya dengan bahagia yang temporer. Sekarang waktunya. Berpatok pada kata-mu tadi, aku semakin tidak ingin miliku terbagi. Ternyata selain terlahir terlalu peka, aku juga terlahir egois. Menyesalkah kamu?
Saraf menegang, nafas memburu, dan kelenjar air mata bekerja sempurna. Sakitnya menjalar dari dada. Perih. Segera kutelan madu agar menjadikannya netral kembali. Aku benci merasakannya. Sesak udara membangkitkan ingatanku pada usaha kita yang sudah setengah jalan. Memang sudah setengah jalan, tapi tak akan pernah sampai selesai di ujung sana. Kata itu lagi, tak akan pernah sampai selesai. Mengertikah kamu, tak bisa memilikimu nanti membuatku otomatis menjadi pribadi yang posesif akut? Aku ingin terus berjalan bersama hingga batas akhir kita. Menikmati hari sebelum habis masanya. Apakah pintaku berlebihan?
Maaf
Dari aku-yang saat ini milikmu
.AnnJasmine